
Apa respon AILA Indonesia saat DPR dan Pemerintah mengesahkan RUU KHUP?
Mengenai Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang baru disahkan pada tanggal 6 Desember 2022, yang mana di dalam KUHP baru tersebut memuat 37 bab dan 624 pasal, AILA melihat dari perspektif ketahanan keluarga, perlindungan anak dan hak asasi yang secara umum dapat dilihat dari Bab XV Tindak Pidana Kesusilaan, jika perbandingannya dengan KUHP lama warisan kolonial Belanda, tentunya KUHP baru ini mengalami kemajuan dari sisi penjagaan moralitas yaitu dengan adanya rumusan baru pasal perzinaan yang normanya diperluas.
Semula di KUHP lama hanya dapat menjerat pelaku zina yang sudah terikat perkawinan, namun KUHP baru ini dapat menjerat siapa pun yang sudah terikat perkawinan maupun yang belum terikat perkawinan (Pasal 411), selain itu KUHP baru ini juga melarang perbuatan kohabitasi atau “kumpul kebo” (Pasal 412), dan memperluas norma pencabulan sesama jenis, semula hanya dapat menjerat pelaku yang jika korbannya adalah anak, namun di KUHP dapat menjerat pelaku pencabulan yang korbannya dari kalangan anak ataupun dewasa (Pasal 414). AILA Indonesia merespons baik pengesahan RKUHP menjadi UU KUHP ini walaupun masih banyak kekurangan dalam muatan pengaturan ancaman pidananya maupun dalam hal pemberlakuan pasal-pasal tersebut.
Pengesahan RKUHP ini khususnya mengenai tindak pidana kesusilaan tidak lepas dari perjuangan sebagian bangsa Indonesia yang pernah mengajukan permohonan Judicial Review Pasal 284, Pasal 285 dan Pasal 292 KUHP kepada Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah diputus dengan perkara Nomor: 46/PUU-XIV/2016.
Walaupun Putusan MK adalah menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya, namun MK bukan berarti menolak gagasan para Pemohon tersebut, sebagaimana pertimbangan hukum MK yang menyatakan:
“Bahwa dengan seluruh pertimbangan di atas bukanlah berarti Mahkamah menolak gagasan “pembaruan” para Pemohon sebagaimana tercermin dalam dalil-dalil permohonannya. Bukan pula berarti Mahkamah berpendapat bahwa norma hukum pidana yang ada dalam KUHP, khususnya yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo tidak bertentangan dengan UUD 1945. Perihal perlu atau tidaknya dilengkapi, hal itu sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang melalui kebijakan pidana (criminal policy)-nya yang merupakan bagian dari politik hukum pidana. Oleh karena itu, gagasan pembaruan yang ditawarkan para Pemohon seharusnya diajukan kepada pembentuk undang-undang dan hal tersebut seharusnya menjadi masukan penting bagi pembentuk undang-undang dalam proses penyelesaian perumusan KUHP yang baru.” (Putusan perkara Nomor: 46/PUU-XIV/2016, halaman 452-453).
Menurut AILA Indonesia, apa saja kekurangan dalam KUHP baru dan pasal-pasal apa saja yang memuat kontroversi?
Karena AILA concern pada isu ketahanan keluarga, perlindungan anak, hak asasi, maka pada Bab Tindak Pidana Kesusilaan secara pemberlakuannya masih jauh dari yang diharapkan.
Sebagai contoh, pada Pasal 411 mengenai perzinaan dan Pasal 412 mengenai “kumpul kebo” hanya sebagai delik aduan yang sangat terbatas pada suami atau istri pelaku yang terikat perkawinan dan orang tua atau anak bagi pelaku yang tidak terikat perkawinan yang dapat melakukan pengaduan. Walaupun delik zina sebagai delik aduan seharusnya bisa diperluas lagi pihak yang dapat melakukan pengaduan, seperti lembaga adat, pejabat di lingkungan warga seperti RT, RW atau lurah/ kepala desa/ camat jika mengetahui secara langsung adanya perzinaan di lingkungannya, hal ini menjadi penting memberikan legal standing bagi lembaga adat atau pejabat yang sehari-harinya bersentuhan langsung dengan masyarakat.
Jika yang hanya bisa mengadukan delik zina sangat terbatas pada suami/istri/orang tua/anak, maka itu hanya membuat relasi dalam keluarga menjadi resisten terhadap potensi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) karena pelaku zina dan pengadunya memiliki hubungan keluarga, apalagi jika pelaku dan pengadu tinggal dalam satu rumah. Di sinilah letak kekurangan Pasal 411 dan Pasal 412 yang menurut AILA sangat sulit ditegakkan. Termasuk Pasal 414 mengenai percabulan, hanya bisa dijerat apabila dilakukan di depan umum atau jika ada unsur kekerasan atau muatan pornografi, tetapi jika perbuatan cabul tersebut dilakukan “suka sama suka/ sexual consent” dan di tempat tertutup hal itu tidak bisa dijerat dengan Pasal 414.
Kekurangan lainnya dari KUHP adalah tidak diaturnya norma larangan mengampanyekan LGBT atau homoseksual dan kebebasan seksual. Karena itu jika ada anggota masyarakat yang mengampanyekan LGBT atau kebebasan seksual tidak dapat dijerat dengan KUHP, ini masih menjadi tugas kita bersama agar kampanye yang bermuatan propaganda LGBT dan kebebasan seksual dapat dijerat juga dengan KUHP.
Selain tindak pidana kesusilaan terdapat pasal-pasal penghinaan terhadap Presiden/ Wakil Presiden yang seharusnya tidak boleh ada lagi di KUHP baru ini. itulah beberapa kekurangan dari KUHP yang baru disahkan tersebut yang masih menyisakan kontroversi di masyarakat. Walaupun masih terdapat banyak kekurangan soal pengaturan tindak pidana kesusilaan setidaknya dengan adanya rumusan pasal zina, hal ini penting untuk mengunci norma dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual agar tidak melegitimasi perbuatan zina atas dasar “suka sama suka/ sexual consent”.
Pro Kontra pengesahan RKUHP, banyak pihak yang merasa Pemerintah dan DPR kurang melibatkan publik dalam merumuskan berbagai aturan, bagaimana AILA Indonesia memandang hal ini?
Sebetulnya pembahasan RKUHP yang sudah disahkan tersebut sudah dimulai sejak sekitar tahun 1970-an, dengan dibentuknya tim perumus RKUHP oleh Pemerintah, yang berangkat dari pokok-pokok pemikiran hasil seminar hukum nasional I tahun 1963. Selama kurun waktu tersebut hingga akhirnya disahkan, DPR menggali dan menyerap pandangan-pandangan dari berbagai kalangan masyarakat, ahli hukum dan organisasi kemasyarakatan sudah dilakukan, termasuk AILA Indonesia sudah berkali-kali menyampaikan aspirasi, masukan dan pemikiran kepada DPR maupun pemerintah mengenai rumusan pasal-pasal khususnya mengenai tindak pidana kesusilaan, yang akhirnya masukan dan pemikiran AILA Indonesia tersebut diakomodasi walaupun tidak sepenuhnya sesuai dengan yang diharapkan, jadi itu kembali lagi kepada masyarakatnya sejauh keaktifan atau keikutsertaan mengawal RKUHP dari setiap tingkat pembahasannya.
Apakah UU KUHP yang disahkan tidak menyebut LGBT sebagai tindak pidana?
Kalau LGBT (Lesbi, Gay, Biseksual, Transgender) itu kan orientasi seksual, jika dikaitkan dengan KUHP baru ini yang memiliki irisan itu hanyalah klausa “perbuatan cabul sesama jenis (homoseksual)”, bukan karena orientasi seksualnya, seperti yang dirumuskan dalam Pasal 414 Ayat (1) KUHP yang berbunyi:
(1) setiap orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang lain yang berbeda atau sama jenis kelaminnya:
- di depan umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori III;
- secara paksa dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun; atau
- yang dipublikasikan sebagai muatan Pornografi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
terdapat frasa “sama jenis kelaminnya” maka hal ini sejatinya dapat menjerat perbuatan cabul sesama jenis (homoseksual) sepanjang perbuatan cabul tersebut jika dilakukan di depan umum, atau secara paksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, atau dipublikasikan sebagai muatan pornografi. Jadi itu ya, KUHP baru ini sudah mengakomodasi agar tidak terjadi perbuatan homoseksual di Indonesia.
Apakah KUHP justru membuat mundur perjalanan demokrasi di Indonesia, seperti yang disampaikan beberapa pengamat?
Terkait isu demokrasi, AILA Indonesia mengkritisi Bab II Tindak Pidana terhadap Martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden, hal mana delik Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan/ atau Wakil Presiden “kembali dihidupkan” di dalam Pasal 218, Pasal 219 dan Pasal 220 di KHUP baru, karena norma delik penghinaan terhadap Presiden/ Wakil Presiden tersebut sebetulnya sudah dibatalkan oleh MK pada tahun 2006, pada KUHP yang lama delik penghinaan terhadap Presiden/ Wakil Presiden diatur dalam Pasal 134 dan Pasal 137.
Pasal 134 dan Pasal 137 yang sudah dibatalkan oleh MK tersebut dapat dilihat pada Putusan Mahkamah Konstitusi No 013-022/PUU-IV/2006 terkait Uji Materiil Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUH Pidana yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Menariknya, dalam pertimbangan hukum Mahkamah (halaman 61) dinyatakan secara tegas dan jelas sebagai berikut:
- Menimbang bahwa berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat, Indonesia sebagai suatu negara hukum yang demokratis, berbentuk republik, dan berkedaulatan rakyat, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagaimana telah ditentukan dalam UUD 1945, tidak relevan lagi jika dalam KUH Pidana-nya masih memuat pasal-pasal seperti Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 yang MENEGASI PRINSIP PERSAMAAN DI DEPAN HUKUM, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum. Sehingga, dalam RUU KUH Pidana yang merupakan upaya pembaharuan KUH Pidana warisan kolonial juga harus tidak lagi memuat pasal-pasal yang isinya sama atau mirip dengan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUH Pidana. Terlebih lagi, ancaman pidana terhadap pelanggaran Pasal 134 paling lama enam tahun penjara dapat dipergunakan untuk menghambat proses demokrasi khususnya akses bagi jabatan-jabatan publik yang mensyaratkan seseorang tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.
Sejak enam belas tahun silam, MK sudah memberikan peringatan secara eksplisit kepada Pemerintah maupun DPR agar tidak lagi memuat pasal-pasal dalam RKUHP yang isinya sama dengan Pasal 134, Pasal 136 bis, Pasal 137 yaitu delik penghinaan terhadap Presiden/ Wakil Presiden, tetapi di KUHP yang baru disahkan tersebut malah justru “kembali dihidupkan” walaupun di KUHP yang baru ini delik penghinaan terhadap Presiden/ Wakil Presiden sebagai delik aduan, tentunya demokrasi masih berada dalam ancaman dan bayang-bayang kriminalisasi jika Pasal 218, Pasal 219 dan Pasal 220 KUHP baru masih tercantum, oleh karena itu siapa saja masyarakat Indonesia yang melakukan uji materiil terhadap pasal tersebut kepada MK sangat terbuka.