26 September 2019
No. 02/G.3/SEKJEN/AILA/IX/2019
Mencermati sikap sebagian anggota panja RUU P-KS Komisi VIII DPR yang terus bersikeras untuk mengesahkan RUU P-KS walaupun muncul penolakan dari berbagai elemen masyarakat secara jujur harus diakui telah melahirkan sejumlah pertanyaan bahkan kecurigaan.
Sebagai lembaga represetasi rakyat, DPR tentu sangat diharapkan untuk tetap mengedepankan fungsi legislasinya secara etis dan elegan, ketika menyusun dan membahas RUU, khususnya RUU P-KS yang telah memicu perdebatan tajam sejak kemunculannya draftnya di tahun 2016 silam.
Kendati menyisakan dua atau mungkin tiga kali masa persidangan, sebelum masa bakti DPR periode 2014-2019 berakhir, Aila Indonesia berharap agar RUU P-KS tetap ditunda pembahasannya, agar kelak DPR pada masa ini tidak tercatat dalam tinta sejarah bangsa ini telah melahirkan sebuah produk hukum yang bukan hanya cacat secara materil tetapi juga formil.
Pandangan ini tentu bukan tanpa alasan. Aila Indonesia, sejak tahun 2017 telah secara serius mengikuti dan mencermati beberapa tahapan dalam proses penyusunan RUU P-KS. Berdasarkan catatan tim hukum Aila Indonesia, RUU P-KS justru terkesan hendak dipaksakan untuk disahkan. Dengan demikian dapat dipastikan, RUU P-KS mengandung sejumlah cacat formil atau prosedural dalam proses penyusunannya.
Dalam hal ini, Aila Indonesia berpandangan bahwa RUU P-KS tidak sejalan dengan asas kejelasan tujuan. Kendati disebutkan bahwa RUU ini adalah untuk penanganan, perlindungan, pemulihan korban dan penindakan pelaku, tapi ada indikasi kuat bahwa empat aspek tersebut justru mengabaikan fondasi yang paling penting yang harus dijunjung dalam penyusunan sebuah UU yaitu menempatkan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara.
Berikutnya, Aila Indonesia mencermati bahwa RUU PKS tidak senafas dengan asas keterbukaan. Dengan memperhatikan banyak subtansi dalam RUU yang sebenarnya belum disetujui, disebabkan munculnya tuntutan dari berbagai kalangan agar dilakukan penyempurnaan atas sejumlah pasal sehingga perlu dibahas lebih lanjut dalam rapat panitia kerja (Panja), namun seolah dianggap tidak bermasalah dan bahkan akan dilanjutkan ke tahapan selanjutnya, dalam hal ini, diserahkan kepada tim perumus guna penyempurnaan materi RUU yang besifat redaksional semata.
Kondisi anomali tersebut tentu tidak sejalan dengan amanah dari UU No.12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan bahkan tidak sesuai dengan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 1 tahun 2014 tentang Tata Tertib. Oleh sebab itu, Aila Indonesia perlu mengingatkan sekali lagi kepada anggota Dewan yang terhormat, agar pembahasan RUU P-KS ditunda terlebih dahulu, untuk menghindari prosedur penyusunannya yang cacat secara formal.
Jika RUU ini tetap dipaksakan untuk disahkan, maka ketika dibawa ke Mahkamah Konstitusi dan dinilai prosedurnya tidak memenuhi pengujian formal, dapat dipastikan RUU P-KS akan dibatalkan secara keseluruhan.
Berapa banyak sumber daya, waktu dan dana yang telah dihabiskan hanya untuk menghasilkan sebuah UU yang cacat secara formil maupun materiilnya padahal Indonesia sedang dilanda krisis berkepanjangan?
Sebagaimana kita tahu problem substantif RUU P-KS adalah filosofinya yang menganut paham “kebebasan seksual” berkedok perlindungan pada korban.
Sesungguhnya RUU P-KS bertujuan untuk merekonstruksi konsep dan makna seksualitas supaya moral, nilai, dan agama menjadi tidak relevan lagi!
Ini adalah pertanggungjawaban moral anggota dewan kepada seluruh rakyat Indonesia.
RUU P-KS tidak boleh disahkan secara serampangan dan mengabaikan masukan dari pihak-pihak yang selama ini kritis terhadap RUU P-KS.
Aila Indonesia
Sekretariat: +62 812-1191-6071
Narahubung: Jihan
Email: sekretariat.aila@gmail.com
Facebook FP: Aila Indonesia
Instagram: Aila Indonesia