Sudah dijelaskan pada artikel sebelumnya, bahwa para feminis Barat telah merekonstruksi ayat-ayat Bible agar sesuai dengan ideologi feminisme. Upaya ini dilakukan karena para feminis berasumsi bahwa penafsiran atas ayat Bible didominasi oleh kalangan patriarki yang bias gender. Hal ini kemudian diikuti oleh kalangan feminis muslim. Penafsiran dan hukum-hukum Islam yang diambil dari Al-Qur’an dan Hadits kemudian direkonstruksi dan direinterpretasi. Amina Wadud menyatakan bahwa perlu adanya rekonstruksi terhadap cara penafsiran klasik, karena penafsiran klasik menghasilkan tafsir yang bias gender. Rekonstruksi tersebut tujuannya agar dapat menghasilkan sebuah penafsiran yang sensitif gender dan kesetaraan. (Amina Wadud, Qur’an Menurut Perempuan, terj, hlm. 33).
Senada dengan Amina, Asghar Ali Engineer menyatakan bahwa adanya bias gender disebabkan karena kesalahan ulama dalam memahami al-Qur’an. Ulama hanya menggunakan pendekatan teologis dan mengabaikan pendekatan sosiologis. (Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan Dalam Islam. terj. hlm. 5). Sebagaimana ditegaskan Syahrur, “….masing-masing generasi menafsirkan al-Qur’an berdasar pada realitas tertentu pada masa mereka hidup, kita yang hidup pada abad 20 ini juga berhak menafsirkan al-Qur’an berdasar ‘semangat zaman’ yang mencitrakan kondisi pada masa sekarang.” (Muhamad Shahrur, al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah, hlm. 3).
Berbeda dengan Amina dan Ashgar, secara radikal Nasruddin Umar dalam disertasinya memaparkan langkah metodologi guna melakukan penafsiran al-Qur’an yang diklaim tidak bias gender, yaitu dengan mendudukkan teks al-Qur’an setara dengan teks naskah-naskah lainnya yang tidak memiliki makna kesucian, “Dalam menganalisa sebuah teks, baik teks al-Qur’an maupun teks naskah-naskah lainnya, ada beberapa pertanyaan filologis yang perlu diperhatikan, antara lain, dari mana teks itu diperoleh? Bagaimana autentitas dan orisinilitas teks itu? Teks aslinya dari bahasa apa? Siapa yang menerjemahkannya? Terjemahan dari bahasa asli atau bahasa lain? Jarak waktu penerjemah dengan teks-teks terjemahan? Atas sponsor siapa teks dan penerjemahan itu? Setiap bahasa mempunyai latar belakang budaya, bagaimana latar belakang budaya teks itu?” (Dikutip oleh Henri Salahuddin, M A, dari buku Prof. Dr. Nazaruddin Umar, Argument Kesetaraan jender, hlm. 265-266, dalam ISLAMIA, hlm. 66).
Dalam hal ini kaum feminis berasumsi bahwa kitab-kitab tafsir yang selama ini menjadi pegangan umat berabad-abad lamanya dianggap tidak berkeadilan gender, dengan alasan para ulama yang terlibat dalam proses penafsiran tersebut pada kurun ke-9 H terdiri dari individu yang hidup dan bergelimang dengan pemikiran serta tingkah laku patriarki. Bahkan tokoh feminis asal Mesir, Nawal Sa’dawi mengatakan bahwa semua kitab samawi termasuk al-Qur’an telah menindas wanita. (Khalif Muammar, Wacana Kesetaraan Gender Islamis Versus Feminis Muslim, dalam ISLAMIA, hlm. 40).
Di antara contoh produk pemikiran feminis muslim yang bertujuan untuk merubah bahkan mengganti hukum-hukum Islam, antara lain; a) Dalam Intitusi Keluarga, kaum feminis berpendapat bahwa perempuan seharusnya mendapatkan harta waris yang sepadan dengan kaum laki-laki, karena perempuan juga mempunyai peran dan andil di dalam keluarga; b) Dalam Intitusi Kenegaraan dan Keagamaan, kaum feminis beranggapan bahwa tidak perlu ada pembagian lagi antara laki-laki dan perempuan dalam hal memimpin, baik dalam ritual keagamaan maupun kepemerintahan negara. Menurut mereka seorang perempuan bisa saja menjadi rabi, rahib, pendeta, imam atau bahkan menjadi presiden asalkan mempunyai kecakapan dalam hal tersebut. (Nurjannah Ismail, Relasi Gender dalam Al-Qur’an; Studi Kritis Terhadap Tafsir al-Thabari dan al-Razi dalam Waryono Abdul Ghaafur, dkk., Gender dan Islam; Teks dan Konteks, hlm. 57); c) Tentang Seksualitas, ajaran yang melarang homoseksual, oleh beberapa kaum feminis dianggap tidak relevan lagi. (M. Kholidul Adib Ach, Indahnya Kawin Sejenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-Hak Kaum Homoseksual, hlm. 15).
Metodologi yang diklaim oleh feminis sesuai dengan konteks realitas masyarakat saat ini, sebenarnya adalah wujud lain dari paham relativisme. Penggunaan metodologi hermeneutika dianggap sebagai metode penafsiran objektif dan bebas dari ketimpangan gender. Metode ini sebenarnya hanyalah tiruan kaum feminis seperti Amina Wadud, Asghar Ali Engineer, dkk dari hermeneutika yang digunakan oleh Barat dalam menafsirkan ulang ajaran Bible. Aplikasi hermeneutika yang dianggap objektif ini sebenarnya menyisakan ruang yang subjektif. Penafsiran akan selalu terbuka dan selalu memerlukan revisi, menolak hal yang permanen dalam tafsir al-Qur’an, mempertahankan makna normatif dan historis dan kebenaran hanya sebatas kondisional tergantung budaya dan lingkungan historis, serta yang paling mendasar adalah terbukanya ruang bagi munculnya tafsir dugaan dan tafsir keraguan. (Adnin Armas, Filsafat Hermeneutika dan Dampaknya Terhadap Studi Al-Qur’an, dalam Kumpulan Makalah Peneliti INSISTS, t.t, hlm. 2)
Ilmu tafsir yang sudah sangat canggih ini kemudian diintegrasikan dengan hermeneutika bahkan disingkirkan. Padahal menurut Imam Jalaluddin as-Suyuthi, untuk menjadi mufassir al-Qur’an harus memenuhi syarat sekurang-kurangnya lima belas cabang ilmu. Di antaranya, bahasa Arab, morfologi, sastra Arab, ilmu Asbab an-Nuzul dan seterusnya. Berbeda dengan hermeneutika yang meniscayakan setiap orang bisa menafsirkan al-Qur’an tanpa harus melihat otoritas seorang mufassir.
Problem diskriminasi perempuan di Barat tidaklah terjadi dalam ajaran Islam. Klaim kaum feminis yang menganggap bahwa adanya ketimpangan gender dalam internal umat Islam dikarenakan para ulama hanya berasal dari kalangan laki-laki merupakan hal yang ahistoris. Sejak zaman Nabi Muhammad Saw. kaum perempuan mendapatkan akses yang sama dalam menuntut ilmu kepada Rasulullah. Bahkan Bunda Aisyah binti Abu Bakar dikenal sebagai ahli fikih handal yang sering memeriksa para perawi hadits dan juga seorang mujtahid perempuan. Bunda Aisyah juga dikategorikan sebagai perawi hadits perempuan yang dapat meriwayatkan hadits terbanyak setelah Abu Hurairah dan Abdullah bin Abbas. Ia tak hanya hafal, tapi juga memiliki ketajaman berpikir dan cukup kritis dalam memahami suatu hadits. Ada pula Bunda Hafshah binti Umar bin Khattab yang dikenal sebagai seorang penyair, juru pidato handal, dan seorang perawi hadits.
Tidak hanya di zaman Rasulullah Saw., pada zaman-zaman berikutnya juga banyak tokoh perempuan yang terlibat dalam dunia keilmuan. Ibnu Hajar dalam kitab Tahdzib at-Tahdzib bab Perawi Perempuan melansir jumlah perawi perempuan dalam Kutub al-Sittah kurang lebih terdapat 331 perawi, baik dari kalangan sahabiyyat maupun tabi’iyyat. Muhammad Akram Nadwi berkesimpulan bahwa para perawi wanita sebagai “the woman scholars in Islam” (ulama wanita Islam). Demikian juga para perempuan di era kontemporer, banyak perempuan yang bisa dikategorikan sebagai ulama disebabkan keseriusan mereka dalam menuntut ilmu. (Muhammad Imarah, Meluruskan Salah Paham Barat Atas Islam,terj. Hlm. 232-236).
Di era kontemporer, sudah banyak tokoh Islam yang bergerak menyuarakan isu perempuan tanpa harus menjadi seorang feminis. Gerakan pertama yang muncul terkait pembelaan hak-hak perempuan dipelopori oleh Muḥammad Abduh (1849-1905), gagasan ini kemudian dilanjutkan oleh Maḥmūd Syaltūt, Sayyid Quṭb, Yusuf al-Qarḍāwī dan Jamāl A. Baḍawī. Inti dari gerakan ini adalah dukungan bahwa perempuan harus diikutsertakan dalam dunia pendidikan dan aktif berperan di masyarakat. Bedanya, gerakan ini mengajak perempuan agar kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah untuk urusan relasi gender. Sedangkan kesetaraan gender versi Barat memaksa kaum perempuan untuk meninggalkan semua itu dan bergerak menuju kebebasan mutlak (Syamsuddin ‘Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, hlm. 100-112). Hal lainnya yang juga perlu disayangkan dari kalangan feminis muslim adalah mereka mengangkat isu yang membawa dampak negatif seperti kebebasan tanpa batas, seakan kebebasan semacam itu yang membawa Barat pada kemajuan. Ada pula isu-isu tentang pengembangan pendidikan, keterampilan perempuan serta masalah-masalah lain yang terkait pengembangan diri justru jarang menjadi fokus. Sehingga, ketika kesempatan memperoleh hak-hak yang sama dengan laki-laki terbuka lebar, ternyata belum diiringi dengan kemampuan perempuan dalam menjalankan kewajiban yang melekat pada hak-hak tersebut. Pada akhirnya feminisme tidak lagi menjadi gerakan pemberdayaan perempuan, melainkan memperdaya mereka dengan klaim tentang ketertindasan, diskriminasi, dan sebagainya
bersambung…